(Tulisan ini adalah Paper Final Mata Kuliah Metodologi Kajian Islam yang diasuh oleh Bapak Prof. Hasbi Amiruddin pada Semester Satu Jurusan Ekonomi Islam PPS IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, September 2012 – Februari 2013, dengan beberapa perubahan)
Fazlur Rahman memandang Al-Qur’an sebagai landasan bagi perumusan metodologi tafsirnya. Bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw, dan karenanya wahyu dari Al-Qur’an memiliki kemapanan karakter yang sangat kokoh. Seperti tulisan Rahman dalam Islam:
“Bagi Al-Qur’an sendiri, dan konsekwensinya juga bagi kaum muslimin, Al-Qur’an adalah kalam Allah. Muhammad juga dengan tegas meyakinai bahwa ia adalah penerima risalah dari Tuhan, yang sepenuhnya lain, demikian hebatnya, hingga ia menolak—atas dasar kuatnya keyakinan ini—beberapa klaim mendasar dari tradisi Yudeo-Kristiani mengenai Ibrahim dan nabi-nabi lainnya.”
Konsepsi Fazlur Rahmam mengenai Al-Qur’an secara sederhana dapat dijabarkan ke dalam butir-butir sebagai berikut:
1. Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah kalam Allah, dan dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad.
2. Al-Qur’an adalah respon ilahi, melalui ingatan dan pikiran nabi, terhadap situasi moral-sosial arab pada masa nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat dagang makkah pada waktu itu.
- Karenanya, semangat atau elan vital Al-Qur’an adalah semangat moral, darimana ia menekankan monoteisme dan keadilan sosial.
- Al-Qur’an terutama sekali adalah sebuah prinsip-prinsip dan seruan-seruan keagamaan serta moral, bukan sebuah dokumen legal. karenanya, keabadian kandungan legal spesifik Al-Qur’an terletak pada prinsip-prinsip moral yang mendasarinya, bukan pada ketentuan-ketentuan harfiahnya.
5. Al-Quran merupakan sosok ajaran yang koheren dan kohesif. Kepastian pemahaman tidaklah terletak pada arti dari ayat-ayat individual Al-Qur’an, tetapi terdapat pada Al-Qur,an secara keseluruhan, yakni suatu satu set prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang koheren di mana keseluruhan ajarannya bertumpu.
6. Al-Qur’an adalah dokumen untuk manusia, bukan risalah mengenai Tuhan. Perhatian utama Al-Qur’an adalah perilaku manusia. Karenanya ia lebih berorientasi pada aksi moral ketimbang spekulasi intelektual.
7. Tetapi, di atas segalanya, Al-Qur’an itu laksana puncak gunung es yang terapung: sembilan sepersepuluh darinya terendam di bawah permukaan air sejarah dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak ke permukaan. Tidak satupun dari orang-orang yang telah serius berupaya memahami Al-Qur’an dapat menolak kenyataan bahwa sebagian besar Al-Qur’an mensyaratkan pengetahuan mengenai situasi-situasi kesejarahan yang baginya pernyataan-pernyataan Al-Qur’an memberikan solusi-solusi, komentar-komentar dan respon.
Sampai pada titik ini, Rahman menandaskan bahwa tujuan ideal-moral Al-Qur’an yang merupakan elan vitalnya itu telah terkubur dalam endapan geologis sebagai akibat dari proses reifikasi yang begitu panjang. Hal ini merupakan harga yang harus dibayar (cost) dari perluasan wilayah Islam yang terlalu cepat, tanpa diimbangi infrastruktur tingkat pemahaman keagamaan yang memadai. Karena itu, metodologi yang diharapkan adalah metodologi yang, tentu saja, bisa menembus endapan sejarah tersebut sampai lapisan terdalam.
Dengan demikian, dapat pahami bahwa tujuan metodologi tafsir bagi Rahman adalah untuk menangkap kembali pesan moral universal Al-Qur’an yang obyektif itu, dengan cara membiarkan Al-Qur’an berbicara sendiri, tanpa ada paksaan dari luar dirinya, untuk kemudian diterapkan pada realitas kekinian. Misalnya, dalam masalah hukum, bagi Rahman, tujuan tafsirnya adalah untuk menangkap resiones logis yang berada di balik pernyataan formal Al-Qur’an. Untuk inilah Rahman sering menyebut-nyebut kasus ijtihad Umar bin Khaththab yang dinilainya sebagai preseden baik (uswah) untuk mengeneralisasikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai umum yang berada di bawah permukaan Sunah dan bahkan teks Al-Qur’an.
Metodologi Tafsir Fazlur Rahman
Metodologi tafsir Fazlur Rahman tidak bisa lepas dari agenda pembaruan sebelumnya. Karenanya, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya mengenai dialektika perkembangan pembaruan yang muncul dalam dunia Islam. Rahman membagi gerakan pembaruan ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama adalah revivalisme pra modernis yang lahir pada abad ke 18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat. Gerakan ini secara sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a) keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral umat Islam; (b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan memberantas takhayul-takhayul dan dengan membuka dan melaksanakan ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika diperlukan.
Menurut Rahman, dasar pembaruan revivalisme pramodernis ini kemudian dikembangkan oleh gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide barat. Pengembangannya terletak pada usaha gerakan ini untuk memperluas isi ijtihad—dan juga agenda gerakan—seperti isu tentang hubungan akal dan wahyu, pembaruan sosial terutama pada bidang pendidikan dan status wanita, pembaruan politik untuk membetuk pemerintahan yang representatif dan konstitusional. Jasa modernisme klasik ini adalah usahanya untuk menciptakan hubungan harmonis antara pranata-pranata barat dengan tradisi Islam dalam kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja, penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini tidak ditopang dengan metodologi yang memadai. Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari barat dan membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”. Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak bisa lepas dari kesan barat sentris, atau bahkan dari tuduhan sebagai gerakan antek-antek barat yang ingin merusak Islam, bak kanker, dari dalam dunia Islam sendiri.
Reaksi terhadap modernisme klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis, yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan basis pemikiran modernisme klasik. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis dan tidak otentik.
Di sela-sela pengaruh neorevivalisme inilah gerakan neomodernis muncul, dan Rahman mengaku dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua kelemahan mendasar modrnisme klasik ini yang menyebabkan timbulnya reaksi dari neorevivalisme.Pertama, karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis terhadap barat, gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an lebih bersifat ad hoc dan parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa kuat bahwa mereka terbaratkan atau agen westernisasi.
Menurut Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis baik terhadap barat maupun terhadap khazanah klasik warisan Islam. Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling mendasar dari kalangan neomodernisme ini adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari al-Qur’an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depannya. Dengan metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan sewenang-wenang, sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Double Movement (Metode Gerakan Ganda)
Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Methode yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau makna suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan.
Bila gerakan yang pertama mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya dalah kerja ahli etika.
Momen gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab, tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.
Gerakan ganda ini, digambarkan oleh Taufik Andnan Amal dengan tiga langkah metodologis utama: (a) pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Quran dalam bentangan karir dan perjuangan nabi; (b) pembedaan antara ketetakpan legal dan tujuan Al-Quran; (c) pemahaman dan penetapan sasaran Al-Qur’an dengan memperhatikan sepenuhnya latar sosiologis. Berkaitan dengan butir pertama, Rahman mengungkapkan:
Suatu pendekatan historis yang serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks Al-Qur’an…Pertama-tama, Al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan historisnya. Mengawali dengan pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu paling awal akan memberikan suatu persepsi yang cukup akurat mengenai dorongan dasar gerakan Islam, sebagaimana dibedakan dari pranata-pranata yang dibangun belakangan. Dan demikianlah, seseorang harus mengikuti bentangan Al-Qur’an sepanjang karir dan perjuangan Nabi Muhammad saw. Metode ini akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan Al-Quran dalam suatu cara yang sistematis dan koheren.
Mengenai pembedaan antara ketetapan legal dan tujuan moral Al-Qur’an, Rahman menulis:
“Kemudian seseorang telah siap untuk membedakan antara ketetapan legal dan sasaran Al-Qur’an, dimana hukum diharapkan mengabdi kepadanya. Di sekali lagi seseorang berhadapan dengan bahaya subyektivitas, tetapi hal ini dapat direduksi seminimum mungkin dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Sudah terlalu sering diabaikan baik oleh kalangan non-muslim maupun muslim sendiri bahwa Al-Quran biasanya memberikan alasan-alasan bagi pernyataan-pernyataan legal spesifiknya.”
Metode gerakan ganda ini kemudian menjadi salah satu komponen metode konstruksi hermeneutik dalam mendorong penafsiran yang mempertimbangkan ketiga aspek teriadik yaitu teks, penafsir dan pembaca/audience-nya dalam memahami Al-Quran.
Daftar Bacaan:
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, Yokyakarta: Qalam, 2002
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 2002
______, Tema-Tema Pokok Al-Quran, terj. Anas Mahyuddin dari judul asli Major Themes of The Quran, Bandung: Mizan, 1983
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Teraju, 2002
Islamia, Hermeneutika Versus Tafsir Al-Quran, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Thn. 1, No. 1, Jakarta: Khairul Bayan,
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1996
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Quran Kontemporer, Yokyakarta: El Saq, 2004
Thameem Ushama, Methodologies of The Qur’anic Exegesis, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, Cet. 1, 1995
Tinggalkan Balasan